Aku selalu
menjadi pemerhati yang tersorot redup oleh sinar matamu. Mengagumimu dari sisi
yang tak pernah terjamah oleh kehangatan sapamu, selalu menjadi tempat teraman
untukku menyimpan perasaan cinta dalam kebisuanku.
Mataku
selalu dapat melihatmu dengan jelas. Disetiap langkahmu. Disetiap tawa dan
sedihmu. Aku selalu melihatmu. Saat kamu terjatuh dan menitihkan air mata
adalah luka untukku. Aku merasakan sakitnya. Ingin ku ulurkan tangan dan
menggenggam tanganmu dengan erat.Menyediakan bahu untukmu bersandar. Menjadi perisai saat luka mencoba
menghampirimu.
Namun, saat
tanganku mencoba meraih tanganmu, selalu ada tangan-tangan lain yang membantumu
berdiri. Disetiap langkah kakiku yang mencoba melangkah, mencoba menghapus
sekat-sekat kegelapan untuk menemukanmu di ujung sana,terhenti dan terhenti lagi. Rasanya, seperti
ada borgol di kakiku yang membuatku sulit berlari mengejarmu saat ada kaki-kaki
lain yang lebih cepat berlari ke arahmu.
Apakah aku
terlalu pengecut? Ataukah aku terlalu takut mengungkapkan “Siapa Aku sebenarnya
di hadapanmu?”
Untukmu yang
selalu hadir dalam mimpiku. Untuk bayangmu yang selalu setia menemani nafas
hidupku. Aku mencintaimu.
Namamu,
selalu hadir dalam do’a ku. Hanya lengan do’a yang selalu aku berikan untuk
memelukmu. Berharap kamu selalu baik-baik saja. Berharap takkan pernah ada luka
yang kamu rasakan. Berharap aku selalu bisa melihat senyummu sepanjang waktu.
Senyum yang takkan pernah hilang dalam hatiku.
Semakin lama
waktu berjalan. Aku menyadari, nafasku semakin sesak setiap kali melihatmu.
Rahasia yang sekian lama telah ku kubur rapi dalam kebisuanku, tak mampu lagi
ku pendam.
Kamu tahu
siapa aku. Tapi kamu tak sadar ada cinta dalam diriku untukmu. Cinta yang
tulus. Yang telah lama aku simpan hanya untukmu.
Tataplah
mataku sebentar saja, dan rasakan. Maka kamu akan tahu “siapa aku sebenarnya”.
Aku terbiasa tenggelam
dalam lamunan yang membuat ku betah berlama-lama tinggal di dalamnya. Dimana ku
temukan senyum, canda, tangisan, dan jeritan menjadi satu mengkhiasi kisah yang
kita bangun bersama. Disana, Aku dapat melihatmu dengan jelas. Membawa senyum
terindah yang masih membekas hingga saat ini. Saat dimana hari telah berganti
menjadi esok namun semua masih nampak sama untukku.
Cinta cinta cinta. Kata-kata yang tidak pernah absen dari
telingaku. Bagaimana tidak, kebiasaanmu membisikkan kata cinta sudah menjadi
hal yang lumrah untukku. Cinta yang kau rasakan mungkin tidak pernah sebesar
sebelumnya. Bagaimana tidak, aku adalah perempuan yang selalu senantiasa
mencintaimu.
Mencintaimu dalam hari-hariku adalah kebiasaan yang takkan
pernah dapat aku tinggalkan. Bersama-sama
kita terpana dalam anugrah yang telah Tuhan sediakan untuk kita berdua. Begitu
luar biasa. Hatimu dan hatiku kokoh untuk berdiri saat kita bersama.
Dalam pangkuanmu aku senang menatap bulan dan bintang yang
selalu indah saat keduanya berdampingan. Keindahan yangdipancarkan bukanlah keindahan palsu. Semua
insan pun tahu, betapa bahagianya bulan dan bintang saat mereka berdampingan
menyinari dunia dengan ketulusan. Dimana ada bulan, disitu ada bintang. Seperti
itulah kita. Dimana ada aku, disitu ada kamu. Kamu adalah bagian dariku yang
takkan pernah sanggup untuk ku tinggalkan.
Di setiap detik, kamu
alasanku untuk tetap tersenyum. Disetiap detik kamu alasanku untuk berdiri
tegak. Aku membutuhkanmu untuk kuat melawan luka . Aku membutuhkanmu untuk tegar
menjalani hidup.Kamu mengajariku untuk
tetap kuat. Mengajari bagaimana menghadapi musuh dengan senjata yang sederhana.
Mengajariku bersahabatdengan cinta yang
di balut ketulusan. Mengajariku menjadi bunga yang tetap mekar meski matahari
menyorot panas ke arahku.
Tak terasa, tetesan air mata membasahi jeritan hatiku membangunkan
ku dari kisah kita. Kenyataan datang menjemputku. Membawaku pada cerita baru
untuk di kalungkan bersamaku. Memaksaku berhenti untuk menggenggam tanganmu.
Tangan yang selalu menjadi kekuatan untukku kini telah pergi.
Ketika saat itu kau hembuskan nafas
terakhir disampingku dengan senyuman yang kau tinggalkan. Aku menyadari Kau
tertidur untuk selamanya.
Kau belum sempat mengucapkan kata-kata perpisahan. Mengapa
kau meninggalkanku begitu cepat? Mengapa kau biarkan ku berjalan sendiri
tanpamu? Tahukah aku tak berdaya menerima kenyataan ini? Bagaimana bisa kau
meninggalkan semua mimpi yang belum kita capai bersama? Masih banyak hal yang ingin
ku lakukan bersamamu. Masih banyak cinta yang ingin ku bagi denganmu. Masih
banyak kata cinta yang hari ini belum aku ucapkan di hadapanmu.
Aku tidak ingin hari berganti menjadi esok bila aku tahu kau
akan benar-bernar meninggalkanku. Aku akan berdo’a kepada Tuhan untuk
membekukan waktu agar aku bisa lebih lama melihat senyummu di depanku. Aku
ingin hari ini tetaplah menjadi hari ini, bukan hari yang berganti menjadi esok
ketika aku kehilanganmu. Namun semua hanya harapan kosong.
Bertahun-tahun berlalu, kamu masih selalu hangat dalam
ingatanku. Sepertinya, baru kemarin kita bersama merajut kisah cinta. Baru
kemarin aku menggenggammu. Baru kemarin kita mengukir senyuman saat kita
bersama.
Kemarin. Satu hari yang lalu. Saat waktu belum berganti
menjadi hari esok. Saat semua masih baik-baik saja. Saat waktu masih
membiarkanku untukmenjadikanmu alasan terindah dalam menjalani hariku. Namun,
kenyataannya Tuhan tetap menggulirkan waktu menjadi hari esok. Satu hari yang
lalu kini telah berlalu dan mencairkan kebahagiaan kita dalam ruang yang
berbeda.
Satu hari yang lalu aku mengenalmu. Satu hari yang lalu aku
bersamamu. Satu hari yang lalu aku menggenggam tanganmu. Namun mencintaimu
bukanlah hanya pada satu hari yang lalu. Aku mencintaimu, hari ini, esok, dan
seterusnya.
Saat aku hendak
menutup pintu, ada sesuatu yang membuatku berat untuk menutupnya. Aku tidak
tahu apa itu. Namun aku terus berusaha menarik pintuku sekuat tenaga agar bisa
tertutup sempurna. Aku tidak ingin orang yangsalah berhasil memasuki ruang melalui pintu yang kini aku genggam.
Semakin kuat aku menarik, semakin kuat juga aku tertarik.
Sebuah gaya tarik menarik kini hadir melengkapi usahaku. Tak kuat, aku merasa kekuatan itu
sedikit lebih besar dari kekuatanku. Aku bertanya, apa itu? Dari mana asalnya?
Mengapa bisa seperti ini? Semua pertanyaan itu hadir dalam otakku.
Aku beranikan diri untuk mengintip melalui celah di lubang
pintu. Pertama kali aku melihat sepasang mata. Mata itu asing. Namun semakin
lama aku memperhatikan aku melihat keteduhan dalam pancaran matanya. Aku tak
mengerti. Mengapa mata seteduh itu ada di depanku dan mencoba membuka pintu
yang ingin ku tutup? Aku tidak mau memadangnya terlalu lama. Aku harus fokus
pada usahaku untuk kembali menarik pintuku hingga tertutup. Yang aku tahu,
kekuatanku harus lebih besar dari kekuatannya. Hanya dengan cara itu, aku
berhasil.
Ku kerahkan semua tenagaku. Menumbuhkan keyakinan dalam
hatiku bahwa aku bisa, aku mampu. Terlebih ketika aku mengingat masa-masa kelam
yang membuatku sakit, aku semakin yakin dan yakin untuk menariknya dengan keras.
“Jedaaaarrr!!” tertutup. Yaa, aku berhasil. Aku tahu pasti
kali ini aku akan menang. Hanya bertarung dengan sepasang mata asing dibalik pintuku tak akan membuatku kalah
dengan mudah. Aku sudah tahu, sepasang mata yang hadir didepan ku hanyalah
mata-mata yang sekedar berdiri saja di depan pintuku. Sama seperti sepasang
mata lainnya. Ketika berusaha menerobos pertahananku, langsung meyerah. Ada
yang bilang takut terluka. Ada yang bilang tak ingin menyakiti kedua tangannya
untuk menarik gagang pintu dengan keras. Ada juga yang bilang enggan untuk terlelah.
Aku tersenyum. Seakan puas dengan usahaku. Keinginanku
tercapai. Aku berhasil.
Ketika aku berbalik arah dan hendak meninggalkan pintuku,
terdengar suarabantingan pintu yang
keras dan mengejutkanku. Ternyata aku lupa menguncinya.
Tidaaaaaakkkk!!! Aku melihat pintuku terbuka. Dan
mata itu? Ya, sepasang mata teduh yang kulihat berhasil membuka pintu yang
telah susah payah aku tutup. Dan kini aku melihatnya secara utuh di hadapanku.
Sesosok pria berperangai manis kini berdiri tegak di hadapanku.Aku tersentak. Beberapa detik aku habiskan
untuk menatapnya. Pria itu tersenyum dengan hangat.
Pria ituberkata “ Kau lupa mengunci pintunya. Apakah kau
pikir aku telah pergi dari depan pintumu sewaktu kau berhasil menutupnya?” Kemudian pria itu tertawa kecil seakan ingin
mencairkan keterkejutanku. Ia melanjutkan perkataanya“ Aku tidak pergi. Aku
tetap menunggumu disini. Saat kau mulai lengah, aku mencari kesempatan untuk
membuka pintumu”
Aku hanya terdiam. Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih
kembali gagang pintuku, namun kali ini rupanya aku tidak beruntung. Tangannya
meraih tanganku. Membuat posisiku semakin sulit.Aku berontak dan mendorongnya hingga terjatuh.
Saat itu, aku tidak bisa berpikir dengan tenang. Aku tidak bisa
mempedulikannya. Hanya ada dua pilihan, aku tutup kembali atau dia akan
berhasil masuk.
Selagi ia terjatuh, aku mempunyai kesempatan yang baik. Aku
berhasil menutup pintuku, dan kali ini aku menguncinya dengan rapat. Nafasku
terengah-engah. Jantungku berdebar kencang. Melihat kedua matanya, melihat
sosoknya hadir di hadapanku beberapa saat yang lalu membuatku tak bisa untuk
tidak mempedulikannya.
Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia terluka? Apakah ia masih
menungguku di depan pintuku? Aku tidak tahu. Rasa takut yang aku rasakan hanya
berhasil menumpahkan air mata. Ku dengar bunyi ketukan pintu yang berasal dari
luar sana asalnya. Aku redam kegelisahanku dan mencoba mengatur nafas. Ketukan
itu semakin kencang dan berirama. Kali ini yang aku rasa bukanlah ketakutan,
hanya tanya yang besar.
Mungkinkah ia orangnya? Mungkinkah ia sepasang mata teduh
itu? Munginkah ia masih berada disana? Mungkinkah?
Tedengarsuara yang
memecah tanyaku. “Apakah kau pikir aku telah pergi dari depan pintumu sewaktu
kau berhasil menguncinya?”
Aku mengenal suara itu, aku mengenal kata-kata itu.Dia adalah sepasang mata teduh.
Aku memberanikan diri untuk beranjak dari tanyaku. Perlahan
aku membuka kunci dan membuka pintuku selebar-lebarnya. Kini aku bisa melihat
ia dengan bebas. Melihatnya lengkap dengan senyumannya. Dia ada di hadapanku.
Kini hanya hatiku yang akan menentukan, apakah dia bisa memasuki pintu yang
telah aku buka? Hanya senyum kecil penuh tanya yang bisa aku berikan padanya.
Hatiku hanya mampu berkata “ Jika kamu ingin melewati
pintuku dan berada di dalam ruangan ini
bersamaku, berusahalah. Tunjukkan padaku, setangguh apakah dirimu meyakinkanku”
Aku berjalan. Dengan senyuman yang nampak jelas pada rautku.
Aku merasa langkahku masih belum mencapai setengah perjalanan. Ku tajamkan
pandanganku pada jarak yang akan ku tempuh. Oh tidak. Ternyata masih sangat
jauh. Berjalan cepat sekalipun tak membuatku yakin bisa sampai tepat pada
waktunya.
Aku putuskan untuk berlari. Aku berlari dengan menggenggam
keyakinan. Tak ingin aku sampai terlambat di tempat tujuan.
Tak percaya apa yang ku lihat. Tempat yang ku nantikan ada
di hadapanku. Untunglah belum terlambat. Matahari baru saja hendak beranjak
pergi menyisakan kegelapan.
Aku menunggu. Aku
menunggu akan tiba datangnya bulan. Sudah berjam-jam ku lewatidan waktu pun terus berlari.
Aku bertanya-tanya. “ Apakah akan datang bulan pada malam ini?”
Aku sudah berlari terlalu jauh untuk tiba di tempat ini dan aku telah menunggu.
Namun, mengapa malam ini bulan tak kunjung datang? Apakah kegelapan malam telah
menelannya? Harus berapa lama aku menantinya datang? Hatiku bertanya-tanya.
Segelintir kekhawatiran telah mencekramku. Erat, sangat erat. Perlahan mulai
melemahkan kakiku untuk berdiri, dan aku terjatuh.
Waktu yang semakin larut membuatku tersadar. Tak ada bulan
yang ingin nampak di pagi hari. Namun dengan sangat sabar aku masih menanti. Berharap
keajaiban datang menyambutku. Dalam relung hatiku aku masih berkata “ Bulan,
datanglah. Biarkan aku bersinar bersamamu. Hanya denganmu. Tak bisakah kau
lihat keberadaanku disini?”
Bila penantianku habis termakan pagi, maka aku harus pulang
dan mengubur semua keinginanku untuk menggapai bulan. Membiarkan bulan datang di
lain malam walau aku tak lagi memandangnya di tempat kini ku berdiri.
Malam ini aku kembali memandang langit pada tempat yang
berbeda. Aku melihat bulan tersenyum padaku. Aku membalasnya walau harus berusaha tersenyum dibalik kekecewaan.
Mengapa bulan datang disaat
aku tak lagi ada disana? Mengapa bulan tersenyum disaat penantianku hampir
rapuh? Seandainya bulan datang lebih awal, kita pasti akan bersinar bersama
disana. Memancarkan kebahagaan untuk semua orang yang memandangnya. Seandainya…..
Seandainya…… Seandainya…….
Bulan, kau harus
tahu, selalu ada batas waktu dalam penantian.