Saat aku hendak
menutup pintu, ada sesuatu yang membuatku berat untuk menutupnya. Aku tidak
tahu apa itu. Namun aku terus berusaha menarik pintuku sekuat tenaga agar bisa
tertutup sempurna. Aku tidak ingin orang yang
salah berhasil memasuki ruang melalui pintu yang kini aku genggam.
Semakin kuat aku menarik, semakin kuat juga aku tertarik.
Sebuah gaya tarik menarik kini hadir melengkapi usahaku. Tak kuat, aku merasa kekuatan itu
sedikit lebih besar dari kekuatanku. Aku bertanya, apa itu? Dari mana asalnya?
Mengapa bisa seperti ini? Semua pertanyaan itu hadir dalam otakku.
Aku beranikan diri untuk mengintip melalui celah di lubang
pintu. Pertama kali aku melihat sepasang mata. Mata itu asing. Namun semakin
lama aku memperhatikan aku melihat keteduhan dalam pancaran matanya. Aku tak
mengerti. Mengapa mata seteduh itu ada di depanku dan mencoba membuka pintu
yang ingin ku tutup? Aku tidak mau memadangnya terlalu lama. Aku harus fokus
pada usahaku untuk kembali menarik pintuku hingga tertutup. Yang aku tahu,
kekuatanku harus lebih besar dari kekuatannya. Hanya dengan cara itu, aku
berhasil.
Ku kerahkan semua tenagaku. Menumbuhkan keyakinan dalam
hatiku bahwa aku bisa, aku mampu. Terlebih ketika aku mengingat masa-masa kelam
yang membuatku sakit, aku semakin yakin dan yakin untuk menariknya dengan keras.
“Jedaaaarrr!!” tertutup. Yaa, aku berhasil. Aku tahu pasti
kali ini aku akan menang. Hanya bertarung dengan sepasang mata asing dibalik pintuku tak akan membuatku kalah
dengan mudah. Aku sudah tahu, sepasang mata yang hadir didepan ku hanyalah
mata-mata yang sekedar berdiri saja di depan pintuku. Sama seperti sepasang
mata lainnya. Ketika berusaha menerobos pertahananku, langsung meyerah. Ada
yang bilang takut terluka. Ada yang bilang tak ingin menyakiti kedua tangannya
untuk menarik gagang pintu dengan keras. Ada juga yang bilang enggan untuk terlelah.
Aku tersenyum. Seakan puas dengan usahaku. Keinginanku
tercapai. Aku berhasil.
Ketika aku berbalik arah dan hendak meninggalkan pintuku,
terdengar suara bantingan pintu yang
keras dan mengejutkanku. Ternyata aku lupa menguncinya.
Tidaaaaaakkkk!!! Aku melihat pintuku terbuka. Dan
mata itu? Ya, sepasang mata teduh yang kulihat berhasil membuka pintu yang
telah susah payah aku tutup. Dan kini aku melihatnya secara utuh di hadapanku.
Sesosok pria berperangai manis kini berdiri tegak di hadapanku. Aku tersentak. Beberapa detik aku habiskan
untuk menatapnya. Pria itu tersenyum dengan hangat.
Pria ituberkata “ Kau lupa mengunci pintunya. Apakah kau
pikir aku telah pergi dari depan pintumu sewaktu kau berhasil menutupnya?” Kemudian pria itu tertawa kecil seakan ingin
mencairkan keterkejutanku. Ia melanjutkan perkataanya“ Aku tidak pergi. Aku
tetap menunggumu disini. Saat kau mulai lengah, aku mencari kesempatan untuk
membuka pintumu”
Aku hanya terdiam. Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih
kembali gagang pintuku, namun kali ini rupanya aku tidak beruntung. Tangannya
meraih tanganku. Membuat posisiku semakin sulit. Aku berontak dan mendorongnya hingga terjatuh.
Saat itu, aku tidak bisa berpikir dengan tenang. Aku tidak bisa
mempedulikannya. Hanya ada dua pilihan, aku tutup kembali atau dia akan
berhasil masuk.
Selagi ia terjatuh, aku mempunyai kesempatan yang baik. Aku
berhasil menutup pintuku, dan kali ini aku menguncinya dengan rapat. Nafasku
terengah-engah. Jantungku berdebar kencang. Melihat kedua matanya, melihat
sosoknya hadir di hadapanku beberapa saat yang lalu membuatku tak bisa untuk
tidak mempedulikannya.
Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia terluka? Apakah ia masih
menungguku di depan pintuku? Aku tidak tahu. Rasa takut yang aku rasakan hanya
berhasil menumpahkan air mata. Ku dengar bunyi ketukan pintu yang berasal dari
luar sana asalnya. Aku redam kegelisahanku dan mencoba mengatur nafas. Ketukan
itu semakin kencang dan berirama. Kali ini yang aku rasa bukanlah ketakutan,
hanya tanya yang besar.
Mungkinkah ia orangnya? Mungkinkah ia sepasang mata teduh
itu? Munginkah ia masih berada disana? Mungkinkah?
Tedengar suara yang
memecah tanyaku. “Apakah kau pikir aku telah pergi dari depan pintumu sewaktu
kau berhasil menguncinya?”
Aku mengenal suara itu, aku mengenal kata-kata itu. Dia adalah sepasang mata teduh.
Aku memberanikan diri untuk beranjak dari tanyaku. Perlahan
aku membuka kunci dan membuka pintuku selebar-lebarnya. Kini aku bisa melihat
ia dengan bebas. Melihatnya lengkap dengan senyumannya. Dia ada di hadapanku.
Kini hanya hatiku yang akan menentukan, apakah dia bisa memasuki pintu yang
telah aku buka? Hanya senyum kecil penuh tanya yang bisa aku berikan padanya.
Hatiku hanya mampu berkata “ Jika kamu ingin melewati
pintuku dan berada di dalam ruangan ini
bersamaku, berusahalah. Tunjukkan padaku, setangguh apakah dirimu meyakinkanku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar