BAB
9 Perlindungan Konsumen
I.
Pengertian Konsumen
Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1] Jika tujuan pembelian produk
tersebut untuk dijual kembali (Jawa:kulakan), maka dia
disebut pengecer atau distributor.
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk
melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual
diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
Sedangkan
pengertian perlindungan konsumen yaitu :
Menurut
Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 :
“segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”.
GBHN
1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a:
“
… pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa
dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan
pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”
Hukum perlindungan konsumen adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”. Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.
II. Azas
dan Tujuan
Azas-azas
perlindungan konsumen
Pasal
2 UU PK :
a. Azas
manfaat
Azas
ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggidibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b. Azas
keadilan
Dapat
dilihat di pasal 4-7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen
serta pelaku usaha. Diharapkan melalui azas ini konsumen dan pelaku usaha dapat
memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c. Azas
Keseimbangan
Diharapkan
kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara
seimbang, tidak ada pihak yang dilindungi.
d. Azas
keamanan dan keselamatan konsumen
Memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakain, dan
pemanaatan barang atau jasayang dikonsumsi atau digunakan.
e. Azas
Kepastian Hukum
Baik
konsumen dan pelaku usaha harus mentaati hokum dan memperoleh keadilan
dalampenyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian
hukum.
Tujuan
Perlindungan Konsumen
Pasal
3 UU PK :
1. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya aru akses
negative pemakain barang atau jasa.
3. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen.
4. Menciptakan
system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan
kesadaran ppelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujuur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan
kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha prodiksi barang atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
III. Hak
dan Kewajiban Konsumen
Sesuai
dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen
adalah :
1. Hak
atas kenyaman, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
2. Hak
untuk mamilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang
atau jasa.
4. Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
5. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak
untuk pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
9. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban konsumen :
1. Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang
atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar
sesuia dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen.
IV. Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal
6, tentang hak pelaku usaha, hak-hak pelaku usaha adalah :
1. Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2. Hak
untuk mendapat perlindungan hokum dari tindakan yang beritikad tidak baik.
3. Hak
untuk melakukan pembelaan diri di dalam penyelesaian hokum sengketa.
4. Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
Kewajiban
pelaku usaha diatur dalam pasal 7 yaitu :
1. Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan
informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa
serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4. Menjamin
mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu baranga atau jasa yang berlaku.
5. Member
kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu
serta member jaminan atau garansi atas barang yang dibuat atau yang
diperdagangkan.
6. Member
kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
7. Member
kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima
atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
V. Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha
1. Pelaku
usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang :
Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan peruundang-undangan.
Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaiman yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya.
Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan bbarang atau jasa tersebut.
Tidak
sesuai dengan mutu, tingkaan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
atau jasa tersebut.
Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang atauu jasa tersebut
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu.
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana mestinya pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label.
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat atau isi bersih(netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
Tidak
mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa member informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran
2. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan satu barang atau jasa
secara tidak benar, dan atau seolah olah :
Barang
tersebuut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu.
Barang
tersebut dalam keadaan baik atau baru.
Barang
atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori
tertentu.
Barang
atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan,
afiliasi.
Barang
atau jasa tersebut tersedia.
Barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
Barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
Barang
tersebut berasal dari daerah tertentu.
Secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
Menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahayya, tidak mengandung
resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Barang
atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadapa ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang atau jasa tersebut.
3. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdaganngkan
dilarang menawarkan, mempromoosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan menggenai :
Harga
atau tarif barang atau jasa.
Penggunaan
suatu barang atau jasa.
Kondisi,
tanggunagn, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.
Tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
Bahaya
penggunaan barang atau jasa.
4. Pelaku
usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang,
dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan :
Menyatakan
barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
Menyatakan
barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
Tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual
barang yang lain.
Tidak
menyediakan barang dengan juumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud
menjual barang yang lain.
Tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud
menjial jasa yang lain.
Menaikan
harga atau tarif barang atau jasa sebelum melakukan obral.
5. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, empromosikan atau mengiklankan suatu barang atau jaa
dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika
pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannyasesuai dengan waktu
dan jumlahh yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
6. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau
jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain
secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan sebagaimana
yang dijanjikannya.
7. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.
8. Pelaku
usah dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujuka untuk diperdagangkan
memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
Mengumumkan
khasilnya tidak melalui media massa.
Memberikan
hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.
Mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
9. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemakdaan cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
10. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
Tidak
menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
diijanjikan
Tidak
menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi.
11. Pelaku
periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
Mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau
tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.
Mengelabui
jaminan atau garansi terhadap barang atau jasa.
Memuat
informasi yang keliru, salah., atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
Tidak
memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang atau jasa.
Mengeksploitasu
kejadian atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan.
Melanggar
etika atau kettentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Pelaku
usaha periklanan dilarag melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggara
ketentuan pada ayat (1).
VI. Klausula
Baku dalam Perjanjian
Klausula
baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen atau perjanjian yang engikat dan wajib dipenuhi olehkonsumen. Lazimnnya
klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur atau bon, perjanjian
atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli.
Memang
klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain
menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat
membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak
perjanjian atau kontrak sehari-hari kita harus selalu menegoisasikan syarat dan
ketentuannya. Misalnya, jika membeli tiket meninton pertunjukan, apakah wajar
untuk menegoisasikan akibat hukum jika pertunjuka itu dibatalkan ? namun
demikian, untuk melindungi kepentingan konsumen beberapa jenis klausula baku
secara tegas diilarang dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Klausula
baku yang dilarang, ada klausula baku yang diilarang dalam UU PK artinya
klausula baku selain itu sah dan mengikat secarra hukum.
Klausula
baku dilarang mengandung unsure-unsur atau pertanyaan :
1. Pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsuumen.
2. Hak
pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen.
3. Hak
pegusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang
dibeli konsumen.
4. Pemberian
kuasa dari konsuumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak
berkaitan dengan barang yang dibeli secara umum.
5. Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen .
6. Hak
pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi objek jual beli jasa.
7. Tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
8. Pemberian
kuasa kepada pengusaha untuk membebankan hak tanggungan, gadai, atau hak jaminan
terhadapbarang yang dibeli oleh kosumensecara angsuran pasal 56 UU 8/99.
Selain
itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat jelas dibaca, aytau yang maksuudnya
sulit dimengerti.
Jika
pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang dilarang tersebut, maka
klausula itu batal demi hukum. Artinya klausula itu dianggap tidak pernah ada.
VII. Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Tanggung
jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19, yaitu :
1. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau
kerugian konsumen akibat mengkonsuumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang atau jasa sejenis setara ini lainnya, atau perawatan
kesehatan atau jasa yang sejenis atau setara ini lainnya, atau perawatan
kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
3. Pergantian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan kesalahan.
5. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
VIII. Sanksi
Sanksi
bagi pelaku usaha menurt UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Sanksi perdata ganti rugi dalam bentuk :
1. Pengembalian
uang
2. Penggantian
uang
3. Perawatan
kesehatan
4. Pemberian
santunan ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal
transaksi
Sanksi
administrasi ganti rugi dalam bentuk :
Maksimal
Rp. 200.000.000, melalui BPSK jika melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), 20,25
sanksi pidana, kurungan :
a. Penjara
5 tahun denda Rp. 2.000.000.000, pasal 8,9,10,13 ayat (2),15,17 ayat (1) huruf
a, b, c, dan edan pasal 182.
b. Penjara
2 tahun denda Rp. 5.000.000.000, pasal 11,12,13,ayat (1),14,16,17 ayat (1)
huruf d dan f ketentuan piidana lain (diluar UU No.8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen)
Jika
konsumen luka berat, cacat berat, sakit berat, atau kematian dikenakan 11
hukuman tambahan antara lain :
a. Pengumuman
keputusan hakim
b. Pencabutan
izin usaha
c. Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa
d. Wajib
menarik dari peredaran barang atau jasa.
e. Hasil
pengawasan diisebarluaskan kepada masyarakat.
BAB
10 Antimonopoli dan Persaingan Unit tidak sehat
Pengertian Antimonopoli
dan Persaingan Tidak Sehat
“Antitrust” untuk
pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi”
yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah
“monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah
“monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti
Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1)
Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih
pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Anti Monopoli.
Asas dan Tujuan
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di
Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU)
persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk
memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang
cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari
UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
Kegiatan yang dilarang
dalan antimonopoli
Kegiatan yang dilarang
berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana
pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor
ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara
tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Perjanjian yang
dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan
dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas
pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian
didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan
kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai
perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini
sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam
pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian
dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan
dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian
(contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy.
Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika
tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang
dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang
dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai
berikut :
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah
4. Pemboikotan
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsonih
8. Integrasi vertikal
9. Perjanjian tertutup
10. Perjanjian dengan
pihak luar neger
Hal-hal yang
Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang
oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1.
Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya
berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi
harga pasar.
Penetapan Harga.
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian,antara lain :
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang
sama.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar.
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah
diperjanjikan
Pembagian Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang
bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
Oligopsoni
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan
untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar
dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu
kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang
pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan
demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan
(kecurangan).
3. Posisi dominan, yang
meliputi :
Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
Jabatan rangkap
Pemilikan saham
Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang
dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas
untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang
dilarang , yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang
, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan
pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan , pelaku
usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi
pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian , KPPU
menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya
perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi
perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU
diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
Efisiensi alokasi sumber daya alam
Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya,
yang lazim ditemui pada pasar monopoli
Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas
dan layanannya
Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat (UU no.5 Tahun 1999 tentang anti monopoli)
Praktek monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikankepentingan umum.
Persaingan usaha tidak
sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur
atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Kegiatan yang dilarang
berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2
Posisi dominan adalah
keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2
“ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.”
Jadi, sektor-sektor
ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai oleh
negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Perjanjian yang
dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
– Penggabungan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau
lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada
yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan
beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan
selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.
– Peleburan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha
baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha
yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir
karena hukum.
– Pengambilalihan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau
mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan
Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
Perseroan/Badan Usaha tersebut.
Sanksi
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian,
pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan
dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan
denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh
lima miliar rupiah.
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha
melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan
monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan
saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua
piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah,
sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan
pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar
rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi
pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana
tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
-Pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
pada pihak lain.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum yang
mendasari beberapa Putusan KPPU terpilih tersebut meliputi asas-asas hukum
berikut :
Asas anti pemilikan
saham pada dua atau lebih perusahaan pada pasar yang sama oleh satu pihak saja;
Asas anti kartel (larangan terhadap perjanjian penetapan harga antara dua atau
lebih pelaku usaha yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat); Asas anti
diskriminasi (perlakuan yang sama dalam konteks hal-hal yang memang sifatnya
sama); Asas kompetisi yang fair; Asas larangan penguasaan dan atau pemasaran
secara monopoli dan penggunaan posisi dominan untuk menghalangi konsumen
memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing di pasaran.
BAB 11 Penyelesaian Sengketa Ekonomi
PENEGERTIAN
SENGKETA
Sengketa
adalah suatu perselisihan atau pertengkaran yang terjadi dalam suatu
mengembangkan usaha . atau sesuatu yang menyebabakan perbedaan pendapat yang
dapat menimbulkan pertengakaran baik kecil maupun besar. Contohnya
memperebutkan sesuatu seperti tanah warisan atau lain sebagainya.
CARA-CARA
PENYELESAIAN SENGKETA
Usaha
manusia untuk meminta maaf atas pertikaian atau konflik dalam mencapai
kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling
menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk
akomodasi antara lain genjatan sejata , arbtrasi, mediasi, konsialisasi,
staletmete.
NEGOISASI
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa dengan perjanjian antara kedua belah pihak
dimana pihak yang satu mempunyai perjanjian untuk kompromi melakukan suatu
kepentingannya dengan cara yang baik
MEDIASI
Mediasi
adalah penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan
keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan
antara Indonesia dengan Belanda.
ARBITRASE
Suatu
perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti
ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat,
bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka
pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
PERBANDINGAN
ANTARA PERUNDINGAN ARBITRASE DAN LIGITASI
Perbandingan
antara perundingan arbitrase dengan ligitasi antara lain
Arbitrase
adalah Suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang
memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak.
Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam
masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih
maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh
hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution
(solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan
putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain
menjadi pihak yang kalah.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar