Teks

Silahkan membaca sesuka hati dengan tidak menjiplak hasil karya orang lain : )

Sabtu, 02 Februari 2013

Siapa Aku?


Aku selalu menjadi pemerhati yang tersorot redup oleh sinar matamu. Mengagumimu dari sisi yang tak pernah terjamah oleh kehangatan sapamu, selalu menjadi tempat teraman untukku menyimpan perasaan cinta dalam kebisuanku.
Mataku selalu dapat melihatmu dengan jelas. Disetiap langkahmu. Disetiap tawa dan sedihmu. Aku selalu melihatmu. Saat kamu terjatuh dan menitihkan air mata adalah luka untukku. Aku merasakan sakitnya. Ingin ku ulurkan tangan dan menggenggam tanganmu dengan erat.  Menyediakan bahu untukmu bersandar. Menjadi perisai saat luka mencoba menghampirimu.
Namun, saat tanganku mencoba meraih tanganmu, selalu ada tangan-tangan lain yang membantumu berdiri. Disetiap langkah kakiku yang mencoba melangkah, mencoba menghapus sekat-sekat kegelapan untuk menemukanmu di ujung sana,  terhenti dan terhenti lagi. Rasanya, seperti ada borgol di kakiku yang membuatku sulit berlari mengejarmu saat ada kaki-kaki lain yang lebih cepat berlari ke arahmu.
Apakah aku terlalu pengecut? Ataukah aku terlalu takut mengungkapkan “Siapa Aku sebenarnya di hadapanmu?”
Untukmu yang selalu hadir dalam mimpiku. Untuk bayangmu yang selalu setia menemani nafas hidupku. Aku mencintaimu.
Namamu, selalu hadir dalam do’a ku. Hanya lengan do’a yang selalu aku berikan untuk memelukmu. Berharap kamu selalu baik-baik saja. Berharap takkan pernah ada luka yang kamu rasakan. Berharap aku selalu bisa melihat senyummu sepanjang waktu. Senyum yang takkan pernah hilang dalam hatiku.
Semakin lama waktu berjalan. Aku menyadari, nafasku semakin sesak setiap kali melihatmu. Rahasia yang sekian lama telah ku kubur rapi dalam kebisuanku, tak mampu lagi ku pendam. 
Kamu tahu siapa aku. Tapi kamu tak sadar ada cinta dalam diriku untukmu. Cinta yang tulus. Yang telah lama aku simpan hanya untukmu.
Tataplah mataku sebentar saja, dan rasakan. Maka kamu akan tahu “siapa aku sebenarnya”.
Aku ada di dekatmu.

Satu Hari Yang Lalu


Aku terbiasa tenggelam dalam lamunan yang membuat ku betah berlama-lama tinggal di dalamnya. Dimana ku temukan senyum, canda, tangisan, dan jeritan menjadi satu mengkhiasi kisah yang kita bangun bersama. Disana, Aku dapat melihatmu dengan jelas. Membawa senyum terindah yang masih membekas hingga saat ini. Saat dimana hari telah berganti menjadi esok namun semua masih nampak sama untukku.
Cinta cinta cinta. Kata-kata yang tidak pernah absen dari telingaku. Bagaimana tidak, kebiasaanmu membisikkan kata cinta sudah menjadi hal yang lumrah untukku. Cinta yang kau rasakan mungkin tidak pernah sebesar sebelumnya. Bagaimana tidak, aku adalah perempuan yang selalu senantiasa mencintaimu.
Mencintaimu dalam hari-hariku adalah kebiasaan yang takkan pernah dapat aku tinggalkan.  Bersama-sama kita terpana dalam anugrah yang telah Tuhan sediakan untuk kita berdua. Begitu luar biasa. Hatimu dan hatiku kokoh untuk berdiri saat kita bersama.
Dalam pangkuanmu aku senang menatap bulan dan bintang yang selalu indah saat keduanya berdampingan. Keindahan yang  dipancarkan bukanlah keindahan palsu. Semua insan pun tahu, betapa bahagianya bulan dan bintang saat mereka berdampingan menyinari dunia dengan ketulusan. Dimana ada bulan, disitu ada bintang. Seperti itulah kita. Dimana ada aku, disitu ada kamu. Kamu adalah bagian dariku yang takkan pernah sanggup untuk ku tinggalkan.
 Di setiap detik, kamu alasanku untuk tetap tersenyum. Disetiap detik kamu alasanku untuk berdiri tegak. Aku membutuhkanmu untuk kuat melawan luka . Aku membutuhkanmu untuk tegar menjalani hidup.  Kamu mengajariku untuk tetap kuat. Mengajari bagaimana menghadapi musuh dengan senjata yang sederhana. Mengajariku bersahabat  dengan cinta yang di balut ketulusan. Mengajariku menjadi bunga yang tetap mekar meski matahari menyorot panas ke arahku.
Tak terasa, tetesan air mata membasahi jeritan hatiku membangunkan ku dari kisah kita. Kenyataan datang menjemputku. Membawaku pada cerita baru untuk di kalungkan bersamaku. Memaksaku berhenti untuk menggenggam tanganmu.
Tangan yang selalu menjadi kekuatan untukku kini telah pergi.  Ketika saat itu kau hembuskan nafas terakhir disampingku dengan senyuman yang kau tinggalkan. Aku menyadari Kau tertidur untuk selamanya.
Kau belum sempat mengucapkan kata-kata perpisahan. Mengapa kau meninggalkanku begitu cepat? Mengapa kau biarkan ku berjalan sendiri tanpamu? Tahukah aku tak berdaya menerima kenyataan ini? Bagaimana bisa kau meninggalkan semua mimpi yang belum kita capai bersama? Masih banyak hal yang ingin ku lakukan bersamamu. Masih banyak cinta yang ingin ku bagi denganmu. Masih banyak kata cinta yang hari ini belum aku ucapkan di hadapanmu.
Aku tidak ingin hari berganti menjadi esok bila aku tahu kau akan benar-bernar meninggalkanku. Aku akan berdo’a kepada Tuhan untuk membekukan waktu agar aku bisa lebih lama melihat senyummu di depanku. Aku ingin hari ini tetaplah menjadi hari ini, bukan hari yang berganti menjadi esok ketika aku kehilanganmu. Namun semua hanya harapan kosong.
Bertahun-tahun berlalu, kamu masih selalu hangat dalam ingatanku. Sepertinya, baru kemarin kita bersama merajut kisah cinta. Baru kemarin aku menggenggammu. Baru kemarin kita mengukir senyuman saat kita bersama.
Kemarin. Satu hari yang lalu. Saat waktu belum berganti menjadi hari esok. Saat semua masih baik-baik saja. Saat waktu masih membiarkanku untuk  menjadikanmu  alasan terindah dalam menjalani hariku. Namun, kenyataannya Tuhan tetap menggulirkan waktu menjadi hari esok. Satu hari yang lalu kini telah berlalu dan mencairkan kebahagiaan kita dalam ruang yang berbeda.
Satu hari yang lalu aku mengenalmu. Satu hari yang lalu aku bersamamu. Satu hari yang lalu aku menggenggam tanganmu. Namun mencintaimu bukanlah hanya pada satu hari yang lalu. Aku mencintaimu, hari ini, esok, dan seterusnya.

Seberapa Tangguhkah Kamu?


Saat  aku hendak menutup pintu, ada sesuatu yang membuatku berat untuk menutupnya. Aku tidak tahu apa itu. Namun aku terus berusaha menarik pintuku sekuat tenaga agar bisa tertutup sempurna. Aku tidak ingin orang  yang  salah berhasil memasuki ruang melalui pintu yang kini aku genggam.
Semakin kuat aku menarik, semakin kuat juga aku tertarik. Sebuah gaya tarik menarik kini hadir melengkapi  usahaku. Tak kuat, aku merasa kekuatan itu sedikit lebih besar dari kekuatanku. Aku bertanya, apa itu? Dari mana asalnya? Mengapa bisa seperti ini? Semua pertanyaan itu hadir dalam otakku.
Aku beranikan diri untuk mengintip melalui celah di lubang pintu. Pertama kali aku melihat sepasang mata. Mata itu asing. Namun semakin lama aku memperhatikan aku melihat keteduhan dalam pancaran matanya. Aku tak mengerti. Mengapa mata seteduh itu ada di depanku dan mencoba membuka pintu yang ingin ku tutup? Aku tidak mau memadangnya terlalu lama. Aku harus fokus pada usahaku untuk kembali menarik pintuku hingga tertutup. Yang aku tahu, kekuatanku harus lebih besar dari kekuatannya. Hanya dengan cara itu, aku berhasil.
Ku kerahkan semua tenagaku. Menumbuhkan keyakinan dalam hatiku bahwa aku bisa, aku mampu. Terlebih ketika aku mengingat masa-masa kelam yang membuatku sakit, aku semakin yakin dan yakin untuk menariknya dengan keras.
“Jedaaaarrr!!” tertutup. Yaa, aku berhasil. Aku tahu pasti kali ini aku akan menang. Hanya bertarung dengan sepasang mata asing  dibalik pintuku tak akan membuatku kalah dengan mudah. Aku sudah tahu, sepasang mata yang hadir didepan ku hanyalah mata-mata yang sekedar berdiri saja di depan pintuku. Sama seperti sepasang mata lainnya. Ketika berusaha menerobos pertahananku, langsung meyerah. Ada yang bilang takut terluka. Ada yang bilang tak ingin menyakiti kedua tangannya untuk menarik gagang pintu dengan keras. Ada juga yang bilang enggan untuk terlelah.
Aku tersenyum. Seakan puas dengan usahaku. Keinginanku tercapai. Aku berhasil.
Ketika aku berbalik arah dan hendak meninggalkan pintuku, terdengar suara  bantingan pintu yang keras dan mengejutkanku. Ternyata aku lupa menguncinya.
Tidaaaaaakkkk!!! Aku melihat pintuku terbuka.   Dan mata itu? Ya, sepasang mata teduh yang kulihat berhasil membuka pintu yang telah susah payah aku tutup. Dan kini aku melihatnya secara utuh di hadapanku. Sesosok pria berperangai manis kini berdiri tegak di hadapanku.  Aku tersentak. Beberapa detik aku habiskan untuk menatapnya. Pria itu tersenyum dengan hangat.
Pria ituberkata “ Kau lupa mengunci pintunya. Apakah kau pikir aku telah pergi dari depan pintumu sewaktu kau berhasil menutupnya?”  Kemudian pria itu tertawa kecil seakan ingin mencairkan keterkejutanku. Ia melanjutkan perkataanya“ Aku tidak pergi. Aku tetap menunggumu disini. Saat kau mulai lengah, aku mencari kesempatan untuk membuka pintumu”
 Aku hanya terdiam.  Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih kembali gagang pintuku, namun kali ini rupanya aku tidak beruntung. Tangannya meraih tanganku. Membuat posisiku semakin sulit.  Aku berontak dan mendorongnya hingga terjatuh. Saat itu, aku tidak bisa berpikir dengan tenang. Aku tidak bisa mempedulikannya. Hanya ada dua pilihan, aku tutup kembali atau dia akan berhasil masuk.
Selagi ia terjatuh, aku mempunyai kesempatan yang baik. Aku berhasil menutup pintuku, dan kali ini aku menguncinya dengan rapat. Nafasku terengah-engah. Jantungku berdebar kencang. Melihat kedua matanya, melihat sosoknya hadir di hadapanku beberapa saat yang lalu membuatku tak bisa untuk tidak mempedulikannya.
Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia terluka? Apakah ia masih menungguku di depan pintuku? Aku tidak tahu. Rasa takut yang aku rasakan hanya berhasil menumpahkan air mata. Ku dengar bunyi ketukan pintu yang berasal dari luar sana asalnya. Aku redam kegelisahanku dan mencoba mengatur nafas. Ketukan itu semakin kencang dan berirama. Kali ini yang aku rasa bukanlah ketakutan, hanya tanya yang besar.
Mungkinkah ia orangnya? Mungkinkah ia sepasang mata teduh itu? Munginkah ia masih berada disana? Mungkinkah?
Tedengar  suara yang memecah tanyaku. “Apakah kau pikir aku telah pergi dari depan pintumu sewaktu kau berhasil menguncinya?”
Aku mengenal suara itu, aku mengenal kata-kata itu.  Dia adalah sepasang mata teduh.
Aku memberanikan diri untuk beranjak dari tanyaku. Perlahan aku membuka kunci dan membuka pintuku selebar-lebarnya. Kini aku bisa melihat ia dengan bebas. Melihatnya lengkap dengan senyumannya. Dia ada di hadapanku. Kini hanya hatiku yang akan menentukan, apakah dia bisa memasuki pintu yang telah aku buka? Hanya senyum kecil penuh tanya yang bisa aku berikan padanya.
Hatiku hanya mampu berkata “ Jika kamu ingin melewati pintuku  dan berada di dalam ruangan ini bersamaku, berusahalah. Tunjukkan padaku, setangguh apakah dirimu meyakinkanku”

Jumat, 01 Februari 2013

Selalu Ada Batas Waktu


Aku berjalan. Dengan senyuman yang nampak jelas pada rautku. Aku merasa langkahku masih belum mencapai setengah perjalanan. Ku tajamkan pandanganku pada jarak yang akan ku tempuh. Oh tidak. Ternyata masih sangat jauh. Berjalan cepat sekalipun tak membuatku yakin bisa sampai tepat pada waktunya.
Aku putuskan untuk berlari. Aku berlari dengan menggenggam keyakinan. Tak ingin aku sampai terlambat di tempat tujuan.
Tak percaya apa yang ku lihat. Tempat yang ku nantikan ada di hadapanku. Untunglah belum terlambat. Matahari baru saja hendak beranjak pergi menyisakan kegelapan.  
Aku menunggu.  Aku menunggu akan tiba datangnya bulan. Sudah berjam-jam ku lewati  dan waktu pun terus berlari.
Aku bertanya-tanya. “ Apakah akan datang bulan pada malam ini?” Aku sudah berlari terlalu jauh untuk tiba di tempat ini dan aku telah menunggu. Namun, mengapa malam ini bulan tak kunjung datang? Apakah kegelapan malam telah menelannya? Harus berapa lama aku menantinya datang? Hatiku bertanya-tanya. Segelintir kekhawatiran telah mencekramku. Erat, sangat erat. Perlahan mulai melemahkan kakiku untuk berdiri, dan aku terjatuh.
Waktu yang semakin larut membuatku tersadar. Tak ada bulan yang ingin nampak di pagi hari. Namun dengan sangat sabar aku masih menanti. Berharap keajaiban datang menyambutku. Dalam relung hatiku aku masih berkata “ Bulan, datanglah. Biarkan aku bersinar bersamamu. Hanya denganmu. Tak bisakah kau lihat keberadaanku disini?”
Bila penantianku habis termakan pagi, maka aku harus pulang dan mengubur semua keinginanku untuk menggapai bulan. Membiarkan bulan datang di lain malam walau aku tak lagi memandangnya di tempat kini ku berdiri.
Malam ini aku kembali memandang langit pada tempat yang berbeda. Aku melihat bulan tersenyum padaku.  Aku membalasnya walau harus berusaha  tersenyum dibalik kekecewaan.
Mengapa bulan datang disaat aku tak lagi ada disana? Mengapa bulan tersenyum disaat penantianku hampir rapuh? Seandainya bulan datang lebih awal, kita pasti akan bersinar bersama disana. Memancarkan kebahagaan untuk semua orang yang memandangnya. Seandainya….. Seandainya…… Seandainya…….
Bulan, kau harus tahu, selalu ada batas waktu dalam penantian.