Part 2.
Menyamakan langkah untuk kesekian kalinya disetiap perjalan
tidaklah mudah. Akan selalu ada langkah yang mendominasi perjalanan. Karena
pikiran kita yang semakin tak menyatu ataukah rasa lelah karena terlalu banyak
rintangan yang kita hadadapi? Aku tahu kau lelah menuntunku. Memilihkanku jalan
yang tepat untuk ku lalui dan selalu mengigatkanku untuk menghindari
lubang-lubang yang dalam. Kau lelah. Tapi kau tak mau bicara. Tetap berusaha
menggenggamku. Walau hampir terlepas karena sulitnya medan perjalanan ini. Aku
menatapmu, dan menyuruhmu untuk beristirahat sejenak. Karena masih ada sisa
waktu untuk kita. Kau bilang tidak. “ Tidak ingin membuang sedikit waktupun
untuk bersamamu. Aku tak mau menunda impian kita sampai tepat waktu di rumah
kita di bukit pelangi” . Aku mengerti dan memahaminya.
Aku raih tanganmu . Aku ingin merasakan bagaimana diposisimu.
Menjadi pelindung untuk seseorang yang kita kasihi. Walau lelah, walau tak kuat
lagi tapi tetap ada kekuatan saat melihatnya. Saat perbedaan itu terjadi dan
langkah kaki kita sulit utntuk disamakan, perbedaan itu kemudian muncul dan
mengisi ruang dalam pikiran kita masing-masing. Mencari jalan tercepat untuk
tiba ke rumah tanpa memperhatikan situasi saat ini tidak akan berhasil.
Memaksakan berlaripun kau akan merasakan
kakimu seperti terborgol.
Aku tetap berusaha menjagamu dan menuntun langkahmu, namun
sia-sia. Kau tak mau mendengarkanku. Kau tetap kokoh dengan pendirianmu. Kau
ingin aku memahami hal yang sebenarnya tak bisaaku pahami. Cara berpikirmu membuatku sulit untuk bisa
menerima. Kalau kau mau ke kanan dan aku mau ke kiri bagaimana bisa kita
bersama-sama?
Aku terdiam sejenak. Berusaha mencari cara agar kita bisa
berjalan beriringan. Cara itu aku
dapatkan. Namun saat aku menyampaikan padamu tetap saja kau tak ingin
mendengarkan caraku. Karena bagimu pemikiranmulah yang hebat. Ketika aku ingin
merobohkan pemikiranmu, kau harus berhasil merobohkan benteng pertahananmu.
Itulah yang kau katakan. Sebenarnya, aku kekasihmu atau terdakwamu? Mengapa
mendengarkanku saja kau tak bisa? Sekeras itukah hatimu? Tak bisakah kau
melihat kearahku betapa aku berusaha untuk tetap satu denganmu? Mengapa kau
selalu memilih jalan yang berbeda?
Biar aku yang mengalah. Aku ikuti caramu. Kita tetap
bergandengan, tetapi tak seerat dulu. Saat lubang-lubang itu kita temui kau tak
lagi memperhatikanku. Kau sibuk dengan jalanmu sendiri. Dan aku mulai merasakan usahamu untuk memisahkan
jari-jari kita secara perlahan. Mungkin ka tak menyangka aku menyadarinya.
Tapi, hatimu ada padaku, dan tidak mungkin aku tidak menyadarinya.
Sebuah sungai dengan jembatan kecil pun kita jumpai. Hanya
ada sebuah perahu yang hampir penuh
dengan orang-orang yang ingin kembali pulang. Jembatan kecil ini sangat
kecil, hampir rapuh, licin, dan tergantung tinggi di atas sungai. Kau berkata kau takkan pernah melepaskan
tanganku. Kita akan sampai bersama dan menaiki perahu itu. Aku percaya kau
takkan meninggalkanku. Dengan perlahan
kau berjalan. Masih memegang tanganku. Jalan dan jalan, kemudian kau berlari.
Aku tersentak. Kau melepaskan tanganku. Diatas jembatan itu aku sendiri.
Memanggil-manggil namamu agar kau kembali mengulurkan tanganmu. Tanpa menoleh
ke arahku kau terus berjalan.
Kau tahu kelemahanku. Kau tahu aku takut ketinggian. Kau tahu
aku takut dengan arus yang deras. Kau tahu aku takut menyebrang sendiri. Dan yang paling kau tahu adalah aku takut
kehilanganmu. Tapi, mengapa kau lepaskan tanganmu? Mengapa kau ingkari janjimu?
Mengapa aku percaya kau takkan meninggalkanku? Mengapa kau beriku harapan
kosong pada awal perjalanan kita?
Mengapa kau meninggalkanku? Mengapa kau sekejam itu?
Kau hilang dari pandanganku. Aku menangis menyaksikan kepergianmu.
Dengan sejuta tetes air mata dan harapan
yang telah hancur. Saat itu secara tidak
langsung kau meminta hatimu kembali. Terpuruk
sendiri. Seakan tak percaya ini terjadi. Kau pergi begitu saja disaat
aku hanya bernafas untukmu. Menyisakan luka Yang takakkan pernah kau
tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar